Rakor Humas Dirjen Diksi 2021: Menangkis Penghakiman Terhadap SMK dan Mengubah Mindset Keliru Masyarakat

 

PNP News. Sejak Badan Pusat Statistik merilis lulusan SMK sebagai kontributor penggangguran tertinggi di Indonesia, citra SMK menjadi minus, dan itu merembet ke dunia pendidikan vokasi di Indonesia. Dimana power Humas SMK saat itu? Kenapa Humas tak pernah meng- counter pemberitaan media yang menghabisi dan menghakimi tersebut?Akibatnya brand image pendidikan vokasi tetap jeblok.

 

Hal itu dipertanyakan Wikan Sakarinto, S.T., M.Sc., Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Rapat Koordinasi Humas di Lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Tahun 2021 yang berlangsung di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center, Yogyakarta, Senin, 22 Februari 2021.

 

 

Pernyataan Sang Dirjen mengacu pada rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia yang mencapai 6,88 juta orang pada Februari 2020. Lulusan SMK menyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut pendidikan mencapai 8,49%.

Wikan menilai, masyarakat kita masih mempersoalkan pilihan S-1 atau D-4 untuk sekolah anak, bukan mengutamakan passion anak dan minat anak. Akibatnya, Minat anak SMP memasuki SMK rendah. Itu sebagian dikarenakan kreatifitas pencipta kreasi yang notabene Humas SMK tidak jalan, tekannya lagi.

 

 

Kebanyakan kita mengarahkan anak jadi PNS yang termasuk ke dalam zone nyaman, lanjutnya. Jika kita yang hadir dalam rakor ini masih berpikir demikian, percuma saja acara kumpul-kumpul dan bincang-bincang ini diselenggarakan, ngabisin duit saja, tegasnya dalam rakor yang diselenggarakan secara luring dan daring tapi lebih banyak yang menghadirinya secara daring itu.

Wikan yang memiliki 10.000 followers itu menegaskan, Humas abad ini dituntut tidak sekedar Humas yang mengacu pada public relations (PR) tapi Humas yang menguasai marketing, bahkan kalau perlu Humas yang menguasai strategi komunikasi (strakom).

 

 

Dalam kesempatan itu ia juga menantang para Humas yang hadir akan memberi hadiah istimewa jika mereka ada yang memiliki followers instagram melebihi jumlah yang dimilikinya, 10.000 orang. Jangan bangga jika humas dan lembaganya cuma memiliki followers 100-500 orang saja, ungkapnya.

Dengan jumlah followers yang banyak, Humas dan lembaganya mampu menangkis penghakiman terhadap SMK yang berlangsung bertahun-tahun. Anda sebagai Humas dituntut untuk mengubah mindset masyarakat dengan menampilkan inovasi dan karya yang mereka hasilkan selama ini. Jika memang berguna dan berkualitas, negara harus mau membeli, tegasnya.

 

Tukang yang Tersertifikasi Berpengalaman Luar Negeri

Dalam rakor tersebut, Wikan juga mengarahkan, target Humas Pendidikan Vokasi pada 2021 minimal mampu meningkatkan minat masuk lulusan SMP ke SMK sama dengan minat masuk ke SMA. Target persuasi 2021 adalah calon peserta didik dan orangtua mereka, imbuhnya.

 

 

Untuk mencapai hal tersebut mindset masyarakat, bahkan pihak di lingkungan pendidikan vokasi sendiri harus diubah. Kalaupun anak kita tukang, mereka adalah tukang yang ahli, tersertifikasi dan berpengalaman kerja luar negeri! Apa istimewanya SMA dari SMK? Logikanya, produk nyata apa yang bisa dibuat dan dijual lulusan SMA? Wikan mempertanyakan dan cukup membakar rasa memiliki ‘ sense of belonging’ peserta yang hadir.

 

Sekolah Akademik dan Vokasi Sama Baiknya Asal Sesuai Passion

Pilihan sekolah di SMA atau SMK, akademik atau vokasi sama baiknya, tapi harus sesuai passion ketertarikan dan minat anak. Harus ada ketertarikan pada bidang ilmunya, mereka bahagia belajar di situ plus punya visi ke depan mau jadi apa dan melakukan apa.

Pendidikan vokasi atau akademik sama-sama berpeluang menjadikan peserta didik jadi pemimpin karena pemimpin itu tidak hanya menguasai technical skill, tapi juga harus punya soft skill, berjiwa kepemimpinan atau leadership dan managerial.

Kenyataan sekarang kita mendidik anak sejak SD belajar keras untuk mendapatkan nilai tinggi agar bisa masuk ke SMP favorit, dan mengabaikan passion mereka. Akhirnya anak memahami bahwa belajar itu adalah berkompetisi untuk mendapatkan nilai yang tinggi agar diterima di sekolah favorit. Itu membuat mereka tertekan, tidak siap secara passion dan soft skill.

VOKASI KUAT, MENGUATKAN INDONESIA!

 

 

d®amlis

Berita Terkait