Mahasiswa Politeknik Negeri Padang Harus Menguasai 3 Kecerdasan:

Inteligensi, Emosional, dan Spritual

 

PNP News. Mahasiswa Politeknik Negeri Padang jangan hanya mengutamakan kecerdasan otak saja, karena semua itu belum tentu menjamin sukses berkiprah di dunia kerja. Seringkali mereka yang berpendidikan formal relatif rendah, lebih berhasil mewujudkan cita-citanya karena Emosional (EQ) yang tinggi. Faktanya, tidak sedikit mahasiswa yang memiliki Intelegence Quotient (IQ) tinggi mengalami kegagalan dalam upaya mengentaskan problema kehidupan, hanya karena tidak memiliki emosional (EQ) yang mantap.

 

Hal itu diungkapkan Hendri Bayu, S.T., Direktur Iner Drive Padang di hadapan 1500-an orang mahasiswa baru dalam Character Building Motivation Training (CBMT) Mahasiswa Politeknik Negeri Padang, di Aula Gedung Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM), Minggu 12 Oktober 2019.

Lebih lanjut Hendri berpesan, mahasiswa Politeknik Negeri Padang harus menguasai 3 kecerdasan: Intelligence Quotient (IQ ), Emotional Quotient/Emotional intelligence(EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Jangan kita melanggengkan kekeliruan dalam sistem pendidikan nasional kita saat ini yang lebih berorientasi pada satu dimensi kecerdasan saja, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), dan cenderung mengabaikan atau memarjinalkan dimensi kecerdasan yang lain, lanjutnya.

 

 

Menurutnya, Tes IQ hanya mengukur kecerdasan rasional, logis dan linear atau dipakai untuk problem logika dan pemikiran strategis tertentu saja. Jenis kecerdasan ini dikembangkan dan mendominasi dunia bisnis Barat, dan dunia pendidikan kita cenderung berkiblat ke dimensi ini saja.

Tingkat Intelegence Quotient (IQ) seseorang umumnya tetap, sedangkan Emotional Quotient (EQ) berkembang dan dapat terus ditingkatkan. Dalam peningkatan inilah kecerdasan emosional sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual, yang umumnya hampir tidak berubah selama manusia hidup. Kecerdasan emosional dengan motivasi dan usaha yang benar dapat dipelajari dan dikuasai. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelegence), yaitu kemampuan kognitif murni yang dilakukan dengan IQ, lanjut Hendri.

Di sisi lain, Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah puncak kecerdasan, setelah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual menurutnya bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk cerdas dalam memilih atau memeluk salah satu agama, tapi lebih merupakan sebuah konsep bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna, nilai, dan kualitas kehidupan spititualnya, terang alumnus Universitas Bung Hatta, angkatan 1988 ini.

Kehidupan spiritual meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi untuk senantiasa menggali makna kehidupan (the meaning of life) dan mendambakan hidup yang bermakna (the meaningful life). Sebagai bagian dari psikologi, SQ memandang seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, karena bisa saja mereka memiliki sikap fanatisme, ekslusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain sehingga mengakibatkan permusuhan dan konflik.

Sebaliknya, seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleransi. Makna spirituality (kerohanian) dalam hal ini tidak selalu berarti agama atau ber-Tuhan, ia menekankan.

 

 

 

Berbuat Baik dan Berbakti pada Orangtua dan Guru/Dosen

Hendri juga mengajak mahasiswa untuk berbuat baik dan berbakti tidak hanya kepada kedua orang tua tapi juga pada guru atau dosen. Guru telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita. Sebagai pendidik, guru membentuk kita menjadi manusia yang beriman, berbudi pekerti luhur, mengerti tentang hal yang baik dan buruk, dan menjadi orang yang bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, masyarakat di sekitar kita, bangsa, maupun negara, paparnya.

Menghormati dan menghargai orang tua salah satu caranya adalah dengan bersikap sopan kepada kedua orang tua . Dalam agama islam hormat kepada orang tua disebut birrul walidain. Hormat kepada orang tua diwajibkan dalam Islam.

Guru atau dosen merupakan pengganti orang tua kita di kampus. Oleh karena itu sebagai seorang muslim diwajibkan kepada kita untuk selalu hormat dan patuh kepada guru atau dosen. Hadis Rasulullah berbunyi: “Aku belum pernah melihat seorang pendidik yang lebih santun dari Rasulullah SAW (H.R Abu Daud). Dengan hadist tersebut dapat kita pahami pentingnya seorang guru atau dosen terhadap perkembangan diri dan peradaban manusia, pungkasnya.

 

d®amlis

Berita Terkait