Belum seluruh bahan promosi pariwisata Kota Padang efektif dalam menyampaikan pesan, padahal kota ini diprioritaskan sebagai tujuan wisata MICE (Meeting, Incentives, Conventions and Exhibition) dan Halal Tourism. Itu terbukti dengan dipersiapkannya berbagai objek wisata dan disusunnya strategi pemasaran yang tepat sasaran, termasuk strategi yang tepat dalam berpromosi.

Hal itu diungkapkan Afifah, SE., M.Si., peneliti merangkap dosen PNP dalam focus group discussion “Pengembangan Strategi Promosi Objek Wisata Kota Padang” yang digelar di Whiz Prime Hotel, kemaren (1/11/18).

Ketidakefektifan pesan bahan promosi wisata itu menurutnya menjadi kendala dalam membangun sektor pariwisata dan meningkatkan daya saing, apalagi pemerintah menjadikan pariwisata sebagai leading sector.

 

 

Dalam sambutan sekaligus pembukaan FGD itu secara resmi, Revalin Herdianto, Wakil Direktur 1 PNP merangkap Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, menyatakan, FGD tersebut adalah agenda penting PNP untuk berkontribusi dalam program pembangunan masyarakat. Kegiatan sejenis dilaksanakan di kota dan provinsi, bahkan di pelosok nagari yang ada di Sumbar.

Pertemuan yang melibatkan birokrat, praktisi, dan akademisi tersebut diharapkan menghasilkan pemikiran cerdas dan solusi jitu bagi problema kepariwisataan di Kota Padang.

Jadwal Penerbangan & Hotel yang Perlu Ditambah

Di sisi lain, H. Ian Hanafiah, CEO Ero Tour justru menilai promosi yang dilancarkan secara tidak hati-hati bakal menjadi bumerang bagi Kota Padang. “Hati-hati berpromosi, jangan sampai wisatawan dan investor tertipu dengan promosi kita, karena kenyataannya kita tidak siap memenuhi apa yang kita janjikan dalam promosi tersebut”, paparnya.

Ian yang juga menjabat Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia/ Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Sumbar ini menilai, citra Kota Padang di luar relatif bagus. Jika promosi “Padang Wisata Halal”, misalnya, tidak didukung dengan pengadaan fasilitas dan pelayanan yang “halal” juga, akan menjadi tamparan bagi sektor pariwisata kita.

Pola pikir sebagian masyarakat setempat harus diubah. Halal itu penerapannya tidak pada makanan saja, tapi juga pada sikap berjualan yang jujur, fasilitas rest area/ toilet yang bersih, jangan sampai wisatawan diajak berhenti di mesjid untuk numpang ke toilet, bukan untuk shalat, atau bahkan toilet mesjidnya juga tidak bersih.

Untuk beberapa destinasi, misalnya, Pantai Air Manis yang pangsanya domestik Asean, menurut Ian tak perlu promosi, cukup benahi saja yang kurang.

 

 

Pria yang mengaku sudah 30 tahun berkecimpung di bisnis pariwisata ini menilai problema pariwisata Kota Padang sebetulnya bukan pada promosi tapi kekurangan airline dan jumlah hotel. Penerbangan penuh terus meski harga tiket relatif mahal.

Menurutnya, Padang tidak usah ikut-ikutan mempromosikan diri sebagai destinasi halal, toh agen juga tidak paham tentang Kota Padang yang dipromosikan. Dipromosikan pun sebagai destinasi halal, justru Lombok yang dikenal pihak luar sebagai destinasi wisata halal. Apa ini berarti kita gagal?

Pasca gempa dan tsunami, perhatian dunia terhadap Lombok kian meningkat, seiring dengan pembangunan dan sarana infrastrukturnya yang kian dipergencar.

Sementara di Sumbar, bantuan Presiden ke desa Parahyangan belum terealisasi karena terkendala tanah kaum yang tak bisa dijual. Tour d’ Singkarak sekarang sudah masuk tahun ke-10 namun belum bisa mengangkat citra Singkarak. Di Danau Singkarak enceng gondok bertumbuhan di mana-mana. Turis hendak jajan makanan, warung tidak ada, hendak jalan ke Hamka, bus besar tidak bisa masuk, hendak ngopi pun entah kemana.

Konflik Branding

Fitri Adona, akademisi dari PNP setuju promosi jangan dibalut kebohongan. Namun periset branding ini melihat masalahnya tidak terbatas pada promosi yang efektif, tapi juga konflik antarkota dan antarkabupaten di Sumbar menyangkut status kepemilikan branding provinsi: “Taste of Padang”.

Setelah strategi city branding “Padang Your Motherland” dinilai tidak menerapkan program internal branding, sehingga masyarakat, khususnya pekerja kreatif sektor pariwisata kurang tanggap, muncul pula branding provinsi: “Taste of Padang”. Meski ini promosi gratis bagi Padang, Padang mesti mengambil sikap.

Ia menganjurkan agar city branding “Padang Your Motherland” dipilih dan kembali digalakkan, tidak membanci. “Taste of Padang” sebagai branding provinsi yang dimaksudkan mewakili 12 kabupaten dan 7 kota sebaiknya juga diganti karena rancu dan tidak mengakomodasi semua kota dan kabupaten, terutama Mentawai.

Meskipun demikian, ia juga menekankan, siapkah Padang dengan branding “Padang Your Motherland”? Secara historis, Padang memang pernah menjadi pusat perdagangan rempah dunia yang peninggalannya sekarang berupa “Kota Tua” di kawasan Muaro. Namun karena secara etimologis branding itu berarti tanah air atau kampung halaman, sanggupkah Padang menjadi tuan rumah yang ramah, mampu secara mental dan emosional menerima kedatangan wisatawan sebagai bagian dari kehidupan mereka, sebagai orang “sekampung”?!

Kembali ke Logo dan Tagline Padang Kota Bingkuang

Berbeda dengan Fitri Adona, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Padang, Dr. Rudy Rinaldy mengungkapkan, bukan tidak mungkin Padang kembali ke benchmark jadulnya: “Padang Kota Bingkuang” karena fenomenanya sekarang, buah tradisional kota ini kembali populer dengan maraknya inovasi kuliner berbahan dasar bingkuang. Tercatat lebih dari 40 jenis makanan dan minuman bisa diolah dari buah ini.

Jika sepakat menjadikannya sebagai wellcome drink di setiap hotel di kota ini atau menggelar lomba masak berbahan bingkuang dengan endoser kondang setara Farah Queen, misalnya, kemungkinan besar Padang kian populer dan dilirik wisatawan dan investor, jelasnya optimis.

Bisnis Pariwisata Tidak Seksi Lagi?

Sekretaris ASITA, Joni Mardianto, M.Par.menilai, bisnis pariwisata tidak seksi lagi, sekarang justru menjadi riskan dan berbahaya. Siapa yang tidak kuat bersaing, mati dengan sendirinya.

Untuk mendapatkan profit yang tinggi, pebisnis harus berani membayar biaya opersional yang besar. Kantor tidak lagi menjadi persyaratan sebuah pelayanan jasa karena layanan mobile, canggih dan update sudah tersedia dan pelanggan tinggal mengaktifkan aplikasi jasa online. Mereka pun tidak memburu komisi tiket tapi dari poin, seperti aplikasi Gojek.

Senjata Pamungkas: Paket Tour & Pelayanan Prima

CEO Ero Tour, Ian Hanafiah tidak begitu sependapat jika pariwisata dikatakan sudah tidak seksi lagi. Itu hanya berlaku jika praktisi pariwisata tidak menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan iptek.

Sejauh pelanggan sadar akan hak dan masih punya keinginan memilih destinasi dan paket tour yang mereka inginkan, mendengarkan informasi dan cerita dari guide, bisnis pariwisata masih akan bertahan, bahkan berkembang.

Pelayanan serba digital tidak akan mampu menengahi komplain pelanggan yang punya kemauan dan ingin didengarkan. Misalnya, suguhan atraksi wisata yang kurang disukai dan tak sesuai paket, itinerary ‘rencana perjalanan’ yang keliru yang membuat mereka kelaparan dan kemalaman sehingga tersiksa di perjalanan.

Pelanggan yang sibuk juga lebih senang berlangganan travel biro karena gampang memajumundurkan jadwal penerbangan karena rapat tunda atau reschedule karena alasan dadakan.

Sehubungan dengan itu perguruan tinggi pariwisata, khususnya Prodi Usaha Perjalanan Wisata PNP, misalnya, harus mampu menghasilkan lulusan yang terampil membuat paket wisata dan sadar akan hak konsumen dan mampu memberikan pelayanan prima, demikian Ian.

 

 

Peneliti (kika): Rafidola Mareta Riesa, SST.Par., M.Sc., Ranti Komala Dewi, SS., M.Par., MGATH., Afifah, SE., M.Si., Dr.Yosi Suryani, SE., M.Si., Alfatah Haries, SST., Par., MSc.*

d®amlis

Berita Terkait